Kisah Dea Pertiwi yang Tinggal Sendirian: Kehilangan Ibu, Ayah, Kakak dan Keponakan karena Virus Corona!

Bagi Dea Winnie Pertiwi (27), sejak Mei lalu menjadi waktu terberat dalam hidupnya melawan virus corona.

Dea yang berasal dari Surabaya itu, harus kehilangan kedua orang tua, kakak kandung beserta keponakan yang masih dalam kandungan setelah terpapar virus corona hanya dalam hitungan hari.

Virus corona pertama kali menyerang sang kakak yang tengah mengandung 8 bulan. Awalnya dia mengeluhkan rasa lelah dan demam tinggi hingga keadaannya sempat membaik setelah mengkonsumsi obat penurun panas.

Sponsored Ad

Namun di pertengahan Mei, dia dilarikan ke IGD akibat rasa sesak yang menyerang, jemarinya membiru dan bayi di kandungan tak terdeteksi detak jantungnya.

"Dokter tidak bisa mengangkat janin di kandungannya karena keadaan kakak yang semakin kritis. Kakak sempat test rapid, hasilnya menunjukkan non-reaktif. Itu awalnya membuat kami mengira kalau efek sesak dan gejala lain datang dari kehamilannya. Setelah kakak kritis, aku dan mama menjalani test rapid, dan hanya mama yang dinyatakan reaktif," ungkap Dea kepada kumparan, (27/8).

Sponsored Ad

Meski hasil rapid test dinyatakan reaktif, sang ibu harus menunggu lagi jadwal swab test beberapa hari ke depan, yaitu di tanggal 2 Juni. Selama menunggu jadwal swab test, dokter meminta Ibu Dea untuk menjalani isolasi mandiri di rumah.

Saat melakukan isolasi mandiri, tak lama kemudian membuat ayahnya tertular tanpa gejala. Ayah Dea tidak merasakan demam atau batuk, namun dia mulai kehilangan keseimbangan saat berjalan dan lebih lemas dari biasanya.

Sponsored Ad

Kedua orang tua Dea akhirnya dilarikan ke rumah sakit pada 29 Mei. Mereka berdua dirawat dalam ruang isolasi yang sama. Namun pada keesokan harinya, Dea menerima telepon dari ibunda yang mengabarkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia.

Di hari yang sama, kondisi kakak Dea dikabarkan membaik, dan harus segera dilakukan pengangkatan janin. Namun pukul 2 malam kakaknya kembali kritis hingga akhirnya nyawanya tidak dapat diselamatkan.

Sponsored Ad

"Aku nggak bisa kasih kabar itu ke Mama, aku ngga mau bikin Mama tambah stress. Yang aku inginkan hanya ngasih Mama semangat, jadi aku bilang kalau kakak sudah sembuh. 'Ayo Ma, ini kakak udah bangun, udah sembuh, tinggal Mama ini harus bisa sembuh ya harus semangat," ungkapnya.

Dengan staminanya yang semakin menurun, Dea selalu datang mengunjungi Ibunda di rumah sakit dengan membawakan air zam-zam.

Meskipun tidak dapat melihat satu sama lain, tidak pula lewat jendela kamar isolasi, namun bagi ibunda, kehadiran Dea di rumah sakit cukup membuatnya merasa ditemani.

Sponsored Ad

Lewat komunikasi telepon, ibunya selalu mengeluhkan kondisinya yang semakin hari semakin lemah dan sulit bernapas. Ditambah duka kehilangan suami tercinta dengan kenangan terakhir terbaring dalam satu ruang isolasi yang sama.

"Mama sendirian, kamu temani Mama terus ya," ucap Dea mengulang kalimat ibunda di masa perawatan di ruang isolasi.

Sponsored Ad

Hingga tiba akhirnya tanggal 2 Juni, hari di mana ibu Dea dijadwalkan melakukan swab test. Namun belum sempat test, dokter dan para tim medis mengabarkan bahwa ibu Dea meninggal dunia. Sore itu, Dea dengan air zam-zam yang masih di tangannya, merasa dunianya semakin runtuh.

Kali ini Dea ingin mengantar kepergian ibunya untuk terakhir kali. Sebab sebelumnya, saat ayah, kakak dan keponakannya meninggal, dia tidak dapat melihat mereka sama sekali.

"Akhirnya aku diperbolehkan untuk melihat proses jenazah ibu dimandikan, aku mengenakan APD lengkap. Aku masuk ke ruangan dan melihat selimutnya dibuka, sampai saat itu saja aku sudah ngga kuat. Selain nggak kuat secara emosional, rasanya juga semakin sesak," ungkap Dea.

Sponsored Ad

Tanggal 5 Juni, Dea ikut dinyatakan positif setelah menjalani test swab. Sebelumnya, kakak ke dua Dea juga terpapar, namun beranjak membaik dan dinyatakan sembuh setelah menjalani isolasi mandiri.

Dea melakukan isolasi mandiri dengan menjalankan segala aktivitas sekaligus pekerjaannya di rumah.  Bantuan dari kerabat, sahabat, dan keluarga yang masih memberi semangat kepada Dea menjadi kunci dari meningkatnya imun tubuhnya, sehingga dia bisa melewati hari-hari isolasi mandiri tanpa kecemasan.

Sponsored Ad

"Aku melakukan aktivitas, memasak adalah salah satunya cara aku bisa happy, aku video-call dengan teman-teman, nonton tontonan yang menyenangkan, dan alhamdulilah tes berikutnya aku dinyatakan negatif," ungkapnya.

Menurut Dea, situasi wabah pandemi di Indonesia semakin menunjukkan peningkatan, angka kasus positif yang masih naik membuat hati Dea tergugah membagikan kisahnya.

Tak jarang yang Dea terima justru perundungan dari sebagian warganet yang tidak mempercayai kebenaran ceritanya.

Sponsored Ad

Dea bercerita, saat dia muncul di sebuah tayangan video untuk membagikan kisahnya di media sosial, dia justru dituduh menjadi orang yang dibayar untuk berakting dan berpura-pura.

Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Dea. Dia meyakini, perundungan yang dilakukan warganet kepadanya adalah ladang pahala untuknya yang masih diberi kesempatan hidup. Dan kepergian orang tua, kakak dan keponakannya dalam kondisi istimewa di tengah wabah ini, merupakan pelajaran besar dalam memaknai kehidupan.

"Aku meyakini bahwa mereka meninggal dalam keadaan khusnul khatimah, itu yang membuatku kuat sampai saat ini," ujarnya.

Dea juga berpesan, untuk tidak meremehkan virus corona. Kondisi sehat dan usia yang muda seharusnya menjadi bekal untuk bisa menjaga orang lain yang rentan akan bahaya virus. Mematuhi protokol corona dan tidak meremehkannya adalah salah satu cara yang tidak boleh ditinggalkan.

"Sebenarnya mau aku bicara panjang lebar apa pun, bagi mereka yang masa bodoh hingga percaya bahwa ini semua tidak nyata, tetap tidak akan berhenti mempercayai keyakinan mereka. Aku bercerita untuk mereka yang masih mau mendengar dan untuk memberikan harapan, karena COVID-19 ini memang nyata. Dan kita bisa sama-sama melewati ini semua," pungkasnya.


Sumber: Linetoday

Kamu Mungkin Suka