SBY Tak Suka Tangkap yang Minta Mundur, Demokrat Tepuk Dada! Sindir Ditangkapnya TNI Ruslan Buton Karena Minta Jokowi Mundur?!

Ditangkapnya pecatan TNI Ruslan Buton oleh pihak kepolisian karena meminta Presiden Jokowi mundur masih menuai pro dan kontra. Tak hanya banjir kata-kata, bahkan ada memviralkan kembali video lawas SBY soal pesan untuk pemerintah saat ini. Dalam video itu, SBY menceritakan soal pengalamannya 10 tahun menjadi presiden yang penuh dengan kritik dan upaya pemakzulan. 

Politisi Demokrat Rachland Nashidik yang ikut memviralkannya. Dalam akun Twitternya, @RachlanNashidik, dia banyak mengkritisi kepemimpinan Jokowi dan membandingkannya dengan SBY. Kata dia, selama 10 tahun memimpin, SBY tak pernah meneror, apalagi memenjarakan pihak-pihak yang memintanya mundur dari jabatan presiden. 

Sponsored Ad

“Dulu ada gerakan massa terorganisir (mulai 2007 hingga 2011) usung isu ‘Cabut Mandat SBY’. Tapi tak ada aktivisnya yang diteror, apalagi dibui,” kicaunya. “Berpendapat Presiden perlu mundur atau diganti, tak boleh dipidana. Apalagi bila kebebasan berpendapat itu disuarakan mimbar akademis,” sambung Rachland. 

Soal penahanan yang minta presiden mundur, dia merujuk pada eks anggota TNI Ruslan Buton yang ditangkap karena meminta Jokowi mundur dari kursi RI 1. Rachland pun membeberkan, saat menghadapi gerakan massa “Cabut Mandat SBY”, SBY melakukan perlawanan. Caranya, dengan mengecam gerakan itu sebagai gerakan inkonstitusional. Sikap berbeda, kata dia, ditunjukkan Jokowi. 

Sponsored Ad

“Pak Jokowi kebanyakan diam saja bila dikritik. Tapi dia biarkan pendukung dan aparatnya di bawah meneror bahkan memidana suara kritis,” sindirnya. 

Cuitan Rachland, ditanggapi beragam oleh warganet. Ada yang mengamini. Ada pula yang berselisih pendapat. Salah satu yang mengamini, @DaengKayo89. Masa pak @SBYudhoyono aktif-aktifnya, saya demonstrasi, saya sering minta Pak SBY mundur tapi saya tidak pernah ditangkap,” cuitnya yang diamini @hipohan. “Era SBY juga, permintaan mundur tidak masalah, dan tidak ada konsekuensi hukum apapun. SBY termasuk yang mendukung kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi,” kicaunya. 

Sponsored Ad

Sementara akun @dewo_lelono menyebut, tidak fair membandingkan era SBY dan Jokowi. Sebab, era SBY, teknologi belum secanggih saat ini. “Dulu Android belum rame kek sekarang bos. Jadi hal sekecil apapun bisa diliat lewat android. Kalau jaman SBY android sudah menyebar ke pelosok-pelosok, mungkin sampek lebaran kuda, SBY tetep prihatin,” cuit dia. 

Pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio berpendapat, apa yang ditunjukkan Demokrat saat ini seperti sedang menepuk dada. “Tapi, harusnya Demokrat nggak usah tepuk dada, karena setiap presiden itu hidup di zaman berbeda,” ujar Hendri kepada Rakyat Merdeka, semalam. 

Sponsored Ad

Menurut dia, fokus dan prioritas SBY dan Jokowi berbeda. Di era Jokowi, demokrasi, pemberantasan korupsi, dan penegakan HAM bukan prioritas utama dibandingkan infrastruktur dan ekonomi. “Di era SBY, tiga hal itu yang jadi prioritas utama. Jadi tidak bisa membandingkan zaman presiden A dengan presiden B,” imbuh Hendri. 

Pendiri lembaga survei KedaiKOPI ini menyarankan, ketimbang sibuk membanding-bandingkan, Demokrat lebih baik bekerja keras di parlemen. Lewat parlemen, partai yang kini dipimpin AHY itu bisa memberi masukan atau desakan kepada pemerimtah tentang pelaksanaan demokrasi yang tepat. “Kalau dibanding-bandingkan doang nggak ada habisnya, nggak ada pemenangnya. Masing-masing pendukung rezim akan membela rezimnya,” tutup dia. 

Sponsored Ad

Sementara itu, politisi PDIP Hendrawan Supratikno menyatakan, setiap zaman punya konteks, muatan politik, hukum, dan perangkat regulasi, termasuk undangundang yang berbeda. “Jangan disamaratakan begitu saja,” ujar Hendrawan kepada Rakyat Merdeka, semalam. 

“Jadi kita tinggal cek, bagaimana proses penegakan hukumnya. Bila yang dilakukan pemerintah tidak memiliki dasar hukum, tentu kita maknai sebagai penggunaan kekuasaan yang eksesif. Namun bila ada dasar hukum dan tidak dijalankan, kita sebut aparat sebagai macan ompong atau lack of teeth,” sambungnya. Hendrawan juga mengingatkan, di masa lalu, masyarakat belum mengenal dampak hoaks atau berita bohong semasif sekarang. 

“Di era medsos, fitnah memiliki daya jelajah luas, memiliki dampak detrimental yang lebih berbahaya. Dibutuhkan mitigasi yang lebih kompleks. Dibutuhkan monitoring dan tindakan preventif yang lebih sistematis,” tandasnya. 


Sumber: RMCO

Kamu Mungkin Suka